Rabu, April 01, 2009

Al Quran, Kosmologi, dan Fisika Energi Tinggi



Pasangan manusia pertama, Adam dan Hawa, diturunkan Allah ke bumi secara terpisah di dua tempat yang sangat jauh. Adam diturunkan di daerah Palestina, sedangkan Hawa diturunkan di daerah Yaman. Selama kurang-lebih 500 tahun pencarian itu mereka jalani. Sehingga dengan bantuan wahyu, mereka akhirnya dipertemukan di Padang Arafah. Adam membawa Hawa kembali ke Palestina. Dan di situlah mereka beranak-pinak, dari dua menjadi enam, kemudian dua puluh, kemudian seratus, kemudian empat ratus, kemudian seribu, sepuluh ribu, dan seterusnya. Hingga terbentuklah sebuah bangsa, generasi pertama bangsa-bangsa di seluruh dunia.

Setelah sistem pendidikan melemah pada beberapa generasi setelah Adam, manusia menjadi bingung akan eksistensinya. Sebagai makhluk,manusia mengakui segala kelemahannya. Di balik kekuatan pikirannya yang luar biasa, manusia hanyalah seonggok daging yang tak berdaya menghadapi kekuatan alam. Oleh sebab itu, rasa ketuhanan mereka menghadirkan kekuatan dari luar yang dianggapnya bisa membentengi mereka dari kekuatan alam. Generasi-generasi awal manusia melihat kekerdilan dirinya ketika mereka berada di dekat objek-objek alam yang tak lazim, misalnya pohon-pohon besar, bebatuan raksasa, gunung-gunung, dan sebagainya. Akhirnya mereka meyakini bahwa di balik objek-objek tersebut, tersimpan kekuatan yang dianggap mampu menolongnya dari segala marabahaya. Itulah asal-mula munculnya animisme dan dinamisme.

Kosmologi Primitif

Setelah peradaban manusia semakin maju, pandangan manusia menuju langit. Sejak beribu tahun yang lalu, para pemikir menganggap bahwa bumi dan kehidupan kita adalah pusat aktivitas alam raya. Pandangan ini disebut Geosentrisme.

Manusia dianugerahi pikiran dengan berbagai kemampuannya untuk menalarkan segala sesuatu. Indera manusia menginformasikan segala hal yang pernah dilihat, didengar, dan dirasa, lalu dikirim ke otak, sehingga pikiran mengolahnya menjadi apa yang disebut ‘penjelasan’. Pada zaman permulaan, belum ada peralatan canggih untuk membantu penginderaan ke langit, misalnya teropong atau teleskop. Oleh sebab itu, terjadi kepicikan pemikiran yang menganggap bahwa bumi dan segala kehidupannya adalah pusat semesta. Ketika itu, mereka justru kesulitan apabila harus berpikir bahwa bumi bergerak dan mengelilingi matahari. Maka spekulasi bahwa bumi diam mutlak dan menjadi pusat pergerakan bulan, bintang-bintang, planet-planet, dan matahari adalah keniscayaan. Spekulasi ini pertama kali diluncurkan Aristoteles sekitar 300 tahun sebelum masehi. Pada abad 2, Claudius Ptolemeus, menyempurnakannya sehingga menjadi teori utuh yang memiliki sistem matematis.

Sekitar abad 16, alat bantu penginderaan jauh baru berkembang di Eropa. Salah satu perancangnya yang paling terkemuka adalah Galileo Galilei dari Pisa, Italia. Dengan teropong buatannya, Galileo menyelidiki keadaan langit. Ternyata kegiatan tersebut membongkar kebobrokan filsafat Aristotelian. Banyak spekulasi yang tidak sesuai dengan pengamatan beliau, termasuk Geosentrisme. Pengamatan beliau justru mendukung Heliosentrisme, yang dianggap mustahil pada masa itu.

Heliosentrisme pertama kali diluncurkan Aristarchus, rival intelektual Aristoteles dalam bidang astronomi. Pada abad 14, Heliosentrisme dikembangkan oleh Ibnu Al-Shatir dari Damaskus. Teori ini dikenal luas ketika Nicholas Copernicus menuliskannya dalam De Revolutionibus Orbium Caelestium (Tentang Revolusi Benda-benda Langit) pada tahun 1543. Beberapa dekade kemudian, Johannes Kepler menyempurnakan sistem Copernicus dengan orbit yang berbentuk elips. Di tangan mereka, orientasi semesta sedikit berpindah, yakni dari bumi ke matahari.

Kosmologi Abad 20

Pada abad 20, para peneliti di Amerika dan Eropa membuat teleskop antariksa, suatu teleskop supercanggih yang dipasang di awang-awang, salah satunya Teleskop Hubble milik Lembaga Antariksa dan Aeronautik Amerika Serikat (NASA). Dengan teleskop itu, para astronom mengamati bahwa di luar tata surya kita terdapat begitu banyak bintang dan galaksi. Heliosentrisme mengharuskan bahwa mereka semua berpusat pada matahari. Namun, pengamatan justru tak memberi sedikit pun bukti yang membenarkan asumsi ini. Matahari sendiri hanyalah sebuah bintang menengah yang merupakan bagian dari sebuah galaksi yang diberi nama Milky Way atau Bimasakti, bersama dengan bermiliar-miliar bintang lainnya. Sekarang para kosmolog meyakini bahwa alam semesta tidak memerlukan pusat lagi.

Pada 1922, Friedmann mengemukakan dua pengandaian yang sangat sederhana, bahwa semesta ini tampak identik ke arah manapun kita memandang, dan bahwa sifat itu akan tetap sama dari manapun kita mengamati. Dari kedua gagasan itu, Friedmann menunjukkan bahwa seharusnya kita tidak mengharapkan bahwa jagat itu statis. Pada 1924, astronom Amerika ternama, Edwin Hubble, menunjukkan bahwa Bimasakti bukanlah satu-satunya galaksi. Sebenarnya banyak sekali galaksi, dan diantara galaksi-galaksi ini terdapat kawasan yang sangat luas, yang merupakan ruang kosong. Untuk membuktikan gambaran ini, ia perlu menentukan jarak ke galaksi-galaksi ini, yang terletak begitu jauh sehingga tampak betul-betul terpaku, tidak seperti bintang-bintang yang dekat. Oleh karena itu, Hubble terpaksa menggunakan metode tidak langsung untuk mengukur jarak-jarak itu. Kecermelangan suatu bintang telah maklum bergantung pada dua faktor, yakni banyaknya cahaya yang dipancarkan (luminositas) dan jaraknya dari mata kita. Oleh karena itu, seandainya variabel luminositas dan kecermelangan diketahui, maka jarak bintang dapat kita hitung.

Dengan variabel-variabel itu, Hubble menghitung jarak galaksi-galaksi dari bumi. Sekarang kita tahu bahwa Bimasakti hanyalah satu dari beberapa ratus miliar galaksi yang dapat dilihat dengan menggunakan teropong modern. Sedangkan setiap galaksi sendiri memiliki beberapa ratus miliar bintang. Galaksi kita sendiri mempunyai garis tengah sekitar 100.000 tahun cahaya. Galaksi ini berputar lambat-lambat, bintang-bintang dalam lengan-lengan spiralnya beredar mengitari pusat galaksi sekali dalam beberapa ratus juta tahun. Matahari hanyalah sebuah bintang kuning biasa dengan ukuran rata-rata dan terletak di dekat pinggir dari salah satu lengannya. Tentulah generasi kita jauh melangkah dibandingkan Aristoteles dan Ptolemius yang menganggap bumi sebagai pusat semesta ataupun Aristarchus, Ibnu Al-Shatir, Copernicus, Kepler, dan Galileo yang menganggap bahwa matahari sebagai pusat semesta.

Semesta Memuai

Para astronom pada 1920-an mulai memeriksa spektrum bintang-bintang dalam galaksi-galaksi lain. Mereka menjumpai sesuatu yang sangat aneh, yakni terdapat perangkat karakter warna-warna yang hilang seperti pada bintang-bintang di Bimasakti. Hampir semuanya bergeser ke arah ujung merah spektrum. Kuantitas pergeserannya sama. Untuk memahami implikasi pergeserannya, terlebih dulu kita harus memahami efek Doppler, yang merupakan pengalaman sehari-hari.

Seperti telah dipahami bahwa cahaya tampak terdiri atas fluktuasi gelombang dalam medan elektromagnetik. Frekuensi cahaya luar biasa tinggi, berkisar dari 4×108 MHz sampai 7×108 MHz atau sekitar empat sampai tujuh ratus triliun gelombang setiap detik. Frekuensi cahaya yang berbeda akan diterima sebagai warna yang berbeda, dimana ujung merah berada pada frekuensi paling rendah dan ujung biru berada pada frekuensi paling tinggi. Bayangkan suatu sumber cahaya dari jarak yang konstan dari mata kita, misalnya bintang, dimana frekuensi yang kita terima akan sama seperti frekuensi ketika ia dipancarkan, karena medan gravitasi galaksi tidak cukup kuat untuk mempengaruhi. Andaikan sumber itu mulai bergerak mendekat ke arah kita, sehingga ketika sumber itu memancarkan gelombang-gelombang berikutnya, waktu yang dibutuhkan olehnya untuk mencapai mata kita akan lebih pendek dari sebelumnya. Jumlah gelombang yang kita terima atau frekuensinya akan lebih tinggi daripada jika ia diam. Fenomena ini akan menghasilkan pergeseran biru (blue shift). Sebaliknya, jika suatu sumber bintang bergerak menjauhi kita, maka spektrumnya akan bergeser ke arah merah (red shift). Hubungan antara frekuensi dan laju gerak sumber disebut sebagai Efek Doppler.

Setelah Hubble membuktikan adanya galaksi lain, ia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk mengamati spektrum galaksi-galaksi. Kebanyakan orang membayangkan galaksi-galaksi bergerak kian-kemari secara acak. Mereka berharap bisa menjumpai pergeseran merah dan pergeseran biru sama banyak. Namun sangat mengejutkan bahwa kebanyakan galaksi ternyata mengalami pergeseran merah, bahkan hampir semuanya bergerak menjauhi kita. Pada tahun 1929, Hubble mengumumkan pergeseran merah itu berbanding lurus dengan jarak galaksi. Makin jauh ia dari kita, makin cepat ia bergerak menjauh. Ini ditafsirkan sebagai semesta yang mengembang, seperti apa yang diperkirakan Friedmann.

Dalam tahun 1965, dua fisikawan Amerika yang bekerja pada Bell Telephone Laboratories Amerika Serikat, Arno Penzias dan Robert Wilson, menemukan derau gelombang radio dari latar belakang kosmik. Gelombang latar belakang ini dianggap sebagai sisa-sisa ledakan besar di masa lalu, yang menyebabkan pemuaian jagat raya. Penemuan ini dianggap sebagai bukti bahwa semesta ini memuai setelah suatu ledakan mahadahsyat di masa lalu.1

Tujuh Lapis Langit

Segala sesuatu selain Allah adalah alam—termasuk kita sendiri sebagai subjek yang menyadari keberadaan mereka. Di situ ada daratan, lautan, pegunungan, sungai-sungai, danau-danau, hutan belantara, berbagai binatang, berbagai tanaman dan pepohonan yang tercakup dalam sebuah planet bernama ‘Bumi’. Bumi dikelilingi sebuah satelit alami bernama ‘Bulan’. Selain itu, bumi juga memiliki banyak rekan sejawat: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, Saturnus, Uranus, Neptunus, Pluto dan mungkin ada lagi planet yang belum diketahui, puluhan satelit alami yang mengelilingi mereka, planetoid-planetoid, asteroid-asteroid, komet, meteor, dan debu-debu angkasa. Bumi, bulan, dan mereka semua bersama-sama mengelilingi sebuah bintang sedang dengan sinar yang kekuning-kuningan bernama ‘Matahari’. Ternyata, matahari juga memiliki rekan sejawat yang demikian banyak, mencapai miliaran jumlahnya. Mereka pun bersama-sama mengelilingi sebuah bintang raksasa di pusatnya. Bintang pusat tersebut diperkirakan besarnya 100.000 kali besar matahari. Mereka membentuk suatu sistem berbentuk cakram yang luar biasa menakjubkan bernama ‘Bimasakti’. Tidak cukup sampai di situ, Bimasakti juga punya rekan-rekan sejawat yang demikian banyak. Mereka bersama-sama mengelilingi sebuah bintang super raksasa di pusat kelompok galaksi. Dan sistem itu juga memiliki rekan-rekan sejawat yang juga sangat banyak. Mereka bersama-sama mengelilingi sebuah bintang hiper raksasa di pusat kelompok sistem itu. Dan tak habis sampai di situ, ternyata mereka juga memiliki rekan sejawat yang juga sangat banyak, dan mereka pun mengelilingi sebuah bintang yang secara fisik lebih besar lagi. Dan demikian seterusnya sampai tujuh kali tingkatan. Ini akan menuntut peralatan eksperimen (teleskop) yang lebih kuat lagi di masa-masa yang akan datang.

Demikianlah sistem semesta yang telah dijelaskan Allah dalam ayat: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. 2:29)”.

Tujuh Lapis Bumi

Hal yang sama akan kita dapatkan kalau kita menilik ke bawah. Fisikawan yang reduksionis meyakini bahwa wujud dan lingkungan kita di Bumi (dan di luar Bumi) tersusun atas unit-unit kecil materi yang disebut partikel elementer. Pada zaman Yunani, Democritus mengklaim bahwa atom adalah partikel elementer yang dimaksud. Misalnya Anda melihat miniatur kastil dari pasir yang dibuat para wisatawan di pinggir pantai Kuta. Apabila Anda memandangnya dari jauh, seolah-olah ia terlihat padat, kokoh, dan tak bercelah. Tapi apabila Anda perhatikan lagi baik-baik dari jarak yang cukup dekat, maka Anda akan mendapati bahwa kastil tersebut tersusun atas butir-butir kecil pasir pantai. Sekarang ambillah satu butir pasir saja. Meskipun kita sudah melihatnya sedekat mungkin, ia tetap terlihat seperti pasir yang kompak, tapi sebetulnya ia pun tersusun atas molekul-molekul yang lebih halus lagi. Molekul-molekul itu juga tersusun atas atom-atom yang jauh lebih halus lagi. Nah, menurut Demokritus, atom adalah penyusun pasir yang paling kecil dan tidak dapat dibagi lagi.

Fisikawan tidak mau percaya begitu saja dengan spekulasi Democritus. Mereka lalu merancang peralatan untuk membantu meramalkan tersusun atas apakah atom-atom itu. Hasilnya diketahui bahwa atom ternyata tersusun atas inti yang dikelilingi elektron-elektron. Sejauh ini elektron disepakati sebagai zarah yang elementer, namun dalam berbagai percobaan, inti ternyata bisa dipecah lagi menjadi hadron-hadron yang disebut proton dan neutron. Dengan peralatan yang lebih canggih lagi, neutron ditembakkan dari sebuah sumber menuju target. Ketika ia menumbuk target, terdeteksilah beberapa partikel yang lain: proton, elektron, neutrino, dan sebagainya.

Kecanggihan teknologi di era modern telah menciptakan peralatan eksperimen yang luar biasa: akselerator berputar atau sinklotron. Pada sepanjang abad 20 dan 21, CERN dan lembaga-lembaga riset lain di Amerika dan Eropa telah membangun alat seperti ini. Hasilnya, atom telah dipecah-pecah menjadi ratusan zarah subatom. Dengan bekal SDM dan dana yang sangat besar, yang di tanggung berbagai negara maju di dunia, CERN membangun sinklotron terbesar di planet. Peralatan paling mutakhir dibangun di perbatasan Swiss dan Perancis adalah sebuah akselerator raksasa sepanjang 27 km bernama Large Hadron Collider (LHC). LHC akan digunakan untuk memburu partikel bernama boson Higgs, yang diduga memberi massa semua partikel. Ia dikatakan sebagai partikel terakhir yang akan menjawab semua problem fisika.2

Beberapa orang (termasuk saya) mungkin meragukannya, apakah boson Higgs benar-benar terakhir? Suatu masa di abad-abad mendatang, kita akan semakin teliti dalam memecah partikel subatom. Kalau kita menilik Alquran, pertanyaan ini akan segera terjawab. Alquran menyatakannya dalam ayat: “Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu (QS. 65:12)”.

Alquran secara eksplisit mengemukakan bahwa bumi (materi yang bisa diamati di bumi) tersusun atas tujuh lapis seperti pula lapisan-lapisan langit. Dengan peralatan yang semakin canggih dan semakin berenergi, kelak manusia akan terus memecah-mecah zarah-zarah yang menyusun bumi hingga ditemukan zarah paling kecil pada pemecahan yang ketujuh. Misalnya saja apabila Anda mengambil sebutir batu kerikil, maka ia bisa kita haluskan sampai tujuh tingkat energi. Tingkat energi pertama akan memecah batu itu menjadi molekul-molekul (unsur dan senyawa), tingkat energi kedua akan memecah molekul-molekul itu menjadi atom-atom, tingkat energi ketiga akan memecah atom-atom menjadi inti dan elektron-elektron, tingkat energi keempat akan memecah inti-inti menjadi hadron-hadron (proton, neutron, dan lain-lain), tingkat energi kelima akan memecah hadron-hadron menjadi kuark, tingkat energi keenam akan memecah kuark-kuark menjadi zarah yang lebih elementer lagi, dan tingkat energi ketujuh akan memecahnya menjadi zarah-zarah yang lebih elementer lagi. Sejauh ini, peralatan eksperimen baru mencapai tingkat energi kelima.

Apakah ini tidak cukup untuk mengatakan bahwa Al Quran memuat ilmu pengetahuan yang jauh lebih tinggi dari kosmologi dan fisika energi tinggi yang dimiliki generasi sekarang?

Disarikan dari:

1Riwayat Sang Kala (Stephen William Hawking)

2http://www.cern.ch

foto: Associated Press

0 komentar:

Posting Komentar